Jumat, 11 Juli 2014

SASTRA BUDAYA MASA KERAJAAN MATARAM KUNA


A. DINASTI MATARAM KUNA
Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur. Prasasti yang biasa disebut dengan nama Prasasti Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi dan berbunyi “ Pada Tahun 726 penanggalan çaka, dalam bulan çaitra pada hari kesebelas paro terang, pada hari Haryang atau hari kedua dalam minggu yang berhari enam, wage atau hari keempat dalam minggu berhari lima, saniscara atau hari ketujuh dalam minggu yang berhari tujuh. “ (Zoetmulder, 1985:3). Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuna).
Sumber penulisan sejarah Mataram Kuna yaitu Prasasti Mantyasih di Kedu yang diterbitkan pada masa Rakai Watukumara Dyah Balitung yang berangka tahun 907. Prasasti Mantyasih menyebutkan para Raja Mataram Kuna diantaranya :
1.          Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
2.         Sri Maharaja Rakai Panangkaran
3.         Sri Maharaja Rakai Pananggalan
4.         Sri Maharaja Rakai Warak
5.         Sri Maharaja Rakai Garung
6.         Sri Maharaja Rakai Pikatan
7.         Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
8.         Sri Maharaja Rakai Watuhumalang
9.         Sri Maharaja Rakai Watukumara Dyah Balitung
10.       Sri Maharaja Rakai Daksa
11.        Sri Maharaja Rakai Tulodhong
12.       Sri Maharaja Rakai Wawa
13.       Sri Maharaja Empu Sindok
Pada masa Jawa Kuna, pendidikan humaniora merupakan pendidika yang utama bahkan tidak hanya menjadi monopoli kelas-kelas terbatas saja. Pendidikan puisi merupakan pendidikan yang harus diikuti oleh kalangan umum lebih-lebih pegawai istana dan pemuka masyarakat (Zoetmulder, 1985:179). Kesadaran mengenai makna penting kedudukan ilmu bahasa, sastra, sejarah, antropologi, kemanusiaan, kemasyarakatan, keagamaan, dan tata negara telah memberi inspirasi para pejabat kerajaan untuk mendirikan, mengembangkan, dan membantu proses pendidikan pada saat itu yang berwujud padepokan.
Pertumbuhan kesusastraan Jawa sudah dikenal secara luas dan dalam tempo yang lama. Karya sastra tertua adalah Serat Candakarana yang dibuat pada masa dinasi Syailendra yang berkuasa sekitar tahun 700 çaka dan telah berhasil membangun monumen megah berupa candi Kalasan. Seran Candakarana ini berisi tentang pelajaran persajakan dan leksikografi (Poerbatjaraka, 1957: 1-2).
B.      WARISAN SASTRA BUDAYA RAJA MASA MATARAM KUNA
1.   Samaratungga
Samaratungga adalah raja Mataram Kuna dari Dinasti syailendra yang menganut agama Budha Mahayana. Karyanya yang monumental adalah Candi Borobudhur. Istilah Borobudhur berasal dari kata bara = biara dan budur = tinggi. Bangunan Candi Borobudhur terdiri dari tiga bagian yaitu (Damardjati Supadjar,1993) :
1)         Kamadhatu
Alam bawah tempat bersemayam manusia biasa. Secara simbolis mengandung arti tingkat manusia pada masa kanak-kanak yang masih tergoda dengan kesenangan duniawi seperti bermain-main, egois, hedonis, dan rekreatif.
2)        Rupadhatu
Alam tempat bersemayam manusia yang sudah mengalami kedewasaan. Manusia yang bertanggung jawab, sungguh-sungguh, seimbang, dan humanistik.
3)        Arupadhatu
Tempat bersemayamnya manusia yang telah mencapaai kesempurnaan hidup, insan kamil, makrifat, dan waskitha ngerti sadurunge winarah.
Candi Borobudhur terletak di Magelang dan dikelilingi Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Sumbing, Gunung Sindoro, dan Gunung Menoreh. Di dekat juga ada Candi Pawon, Candi Mendut, dan Candi Sewu . Ketiga Candi tersebut merupakan warisan Dinasti Syailendra yang memerintah antara tahun 778-abad ke 10 di Jawa Tengah.
2.  Rakai Pikatan
Rakai pikatan memerintah Kerajaan Mataran Kuna sekitar tahun 778 çaka atau 856 Masehi. Istrinya adalah putri dari raja Samaratungga yang bernama Pramodhawardani. Pada zaman pemerintahan Rakai Pikatan itu dibangun Candi Prambanan atau Candi Roro Jonggrang. Prasasti yang mengungkapkan tentang Candi Prambanan yaitu Prasasti Siwagraha yang berangka tahun 778 çaka atau 856 Masehi yang dikeluarkan oleh Rakai Pikatan (Moertjipto & Bambang Prastyo, 1994:30). Sekarang prasasti itu disimpan di Museum Pusat Jakarta. Nama Rakai Pikatan juga disebut dalam prasasti Mantyasih. Begitu terkenalnya, Rakai Pikatan mendapat julukan Jatiningrat.
3.  Dyah Balitung
Dyah Balitung adalah Maharaja dari Kerajaan Mataram Kuna yang bertahta 898-910. Beliau masih keturunan Wangsa Syailendra, sebuah dinasti yang terkenal karena telah berhasil dalam mengembangkan seni, bahasa, budaya, dan ilmu pengetahuan (Zoetmulder, 1985). Salah satu karya sastra dari Dinasti Syailendra ini adalah Kitab Candha Karana, sebuah buku yang ditulis di atas daun rontal, berisi tentang ajaran moral, seni tembang, tata bahasa, dan kamus. Pada tahun 700 çaka, Wangsa Syailendra membangun Candi Kalasan. Pada tahun 782-872 dibangunlah sebuah candi megah nan indah, yaitu candi Prambanan yang reliefnya memuat Kisah Ramayana.
Keraton Mataram ini mengalami keemasan pada masa pemeritahan Raja Balitung. Pada Tahun 907 Raja Balitung menyelenggarakan pentas seni besar-besaran, dengan menampilkan pagelaran wayang. Lakonnya adalah Bima Kimara dan Ramayana. Pada masa Raja Balitung ditulis prasasti Kedu atau Mantyasih berangka tahun 907. Prasasti ini secara lengkap menggambarkan silsilah Raja Mataram Kuna.
4.  Empu Yogiswara
Empu Yogiswara adalah pengarang kakawin Ramayana pada tahun 825 çaka atau 903 Masehi. Beliau hidup pada masa pemerintahan Dyah Balitung tahun 820-832 çaka atau 898-910 Masehi.
Kakawin Ramayana merupakan terjemagan karya sastra ciptaan Pujangga Hidu, Walmiki, pada permulaan masehi. Kitab Ramayana terdiri dari 7 kandha  dan 24.000 seloka. Ketujuh kandha dalam Kakawin Ramayana tersebut adalah sebagai berikut :
                  1.           Bala Kandha
Berisi tentang cerita Prabu Dasarata, raja Negeri Kosala yang beribukota Ayodya. Dalam lakon Sayembara Widekadirja atau Sayembara Mantili, Dewi Sinta, Prabu Janaka disunting oleh Rama.
                 2.           Ayodhya Kandha
Berisi kisah Rama, Sinta, dan Lesmana yang disingkirkaan di Hutan Dandaka (Lakon Rama Tundhung)
                 3.           Aranya Kandha
Berisi kisah Sinta yang diculik Rahwana (Lakon Rama Gandrung)
                 4.           Sundara Kandha
Berisi tentang cerita kepahlawanan Anoman yang berhasil berjumpa dengan Dewi Sinta di Alengka (Lakon Anoman Duta)
                 5.           Kiskendha Kandha
Berisi kisah tentang bala tentara Rama yang menyebarangi samudera untuk menuju Alengka (Lakon Rama Tambak)
                 6.           Yudha Kandha
Berisi kisah peperangan antara tentara Alengka dengan tentara Rama yang berakhir dengan kembalinya Rama Sinta ke Ayodya (Lakon Brubuh Alengka)
                 7.           Uttara Kandha
Berisi kisah Rama Sinta setelah kembali ke Ayodya. Rakyat Ayodya menyangsikan kesucian Sinta lagi. Untuk membuktikan kesucian Sinta dilakukan pembakaran atas diri Sinta (Sinta Obong) (Haryanto, 1998:229-230)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar