Pagelaran wayang adalah sebuah suguhan
multi-dimensional yang memuat berbagai hakekat dan filosofi kehidupan. Wayang
yang dimainkan oleh dalang tersebut bukan hanya sekedar sebuah pertunjukan seni
yang menyatukan berbagai instrumen. Nilai-nilai moral, etika, dan kesantunanpun
tersirat dalam setiap lakon yang dimainkan oleh sang dalang. Kisah para dewa
dan ksatria bahkan buta menyimbolkan berbagai sifat manusia, dimana manusia
terbagi menjadi dua karakter yaitu antagonis dan protagonis. Lakon-lakon itu
mengajak imajinasi kita menerawang pada hukum sebab dan akibat. Dimana setiap
apa yang kita tanam tentu kita akan menuainya.
Hadirnya punakawan yang menjadi
pralambang sifat humanis memberikan penyegaran setelah huru-hara yang biasa
terjadi karena perebutan kekuasaan, dsb. Punakawan dengan sifatnya yang lugu,
sederhana, dan bersahabat biasa mengocok perut penonton melalui sesi gara-gara. Semar, Gareng, Petruk, dan
Bagong muncul sebagai dagelan yang menyiratkan bahwa adakalanya hidup memang
harus digulung. Tidak melulu meratapi
berbagai permasalahan hidup.
Wayang kulit biasa dimainkan dimalam
hari dan akan tancep kayon pada dini hari.
Malam hari dianggap sebagai
waktu yang sakral untuk laku prihatin, sehingga
dipilih sebagai waktu yang melatarbelakangi pertunjukan kehidupan ini. Pada
dini hari biasanya lebih banyak mengajarkan berbagai filosofi kehidupan.
Meskipun justru pada waktu ini penonton yang tersisa hanya beberapa gelintir
saja, kebanyakan para orang tua. Tancep
Kayon mengandung falsafah jawa yaitu Sangkan
Paraning Dumadi yang artinya kembali pada Sang Pencipta. Kayon sendiri
merupakan gunungan yang digunakan untuk pergantian setting serta mengawali dan
mengakhiri pertunjukkan.
Melek
semalam suntuk untuk merenungkan
hakekat dan tujuan hidup melalui pagelaran wayang, saya rasa adalah salah satu
cara untuk laku prihatin. Kompleksitas
kehidupan yang disiratkan melalui lakonnya dan pralambang sifat manusia yang
tercermin pada tokohnya tentu akan membuat kita lebih bijaksana dalam menjalani
kehidupan.
Sayangnya, permasalahan bahasa
terkadang membuat filosofi dan ajaran hidup dalam pagelaran wayang kurang
tersampaikan dengan maksimal. Malah tak bisa dipungkiri permasalahan klasik ini
menumbuhkan kemalasan untuk menonton, khususnya pada generasi muda. Mereka
beranggapan bahwa tak ada gunanya menonton pertunjukkan dengan bahasa “ planet” sebagai bahasa pengantarnya.
Hadirnya wayang climen yang diusung
oleh dalang minimalis Ki Jlitheng Suparman sepertinya menjadi solusi yang
sangat tepat untuk permasalahan ini. Konsep wayang yang ia beri nama Wayang
Kampung Sebelah (WKS) ini menggunakan bahasa jawa yang lebih sederhana dan yang
jelas dengan durasi yang pendek pula. 2-3 jam cukup untuk menampilkan wayang
jenis ini. Meskipun hanya dengan durasi yang pendek namun wayang climen tidak
keluar dari pakemnya. Cerita yang
diusung dalam pagelaran wayang climen sama seperti pagelaran wayang kulit
semalam suntuk. Dengan demikian, filosofi kehidupan yang terkandung dalam
cerita wayang tidak akan menghablur.
Akhirnya, kenapa tidak “ belajar hidup
melalui wayang “ ? Lakon wayang yang mirip dengan lelakon kita tentu saja bisa kita jadikan perenungan tentang
hakekat hidup. Sifat para buta dan para ksatria bisa kita jadikan cerminan
tindakan kita. Selain itu dengan menonton wayang kita juga telah menjaga
eksistensi salah satu warisan budaya dari nenek moyang kita. Sebab, kalau bukan
kita siapa lagi?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar