Jumat, 11 Juli 2014

BELAJAR HIDUP DARI WAYANG

Pagelaran wayang adalah sebuah suguhan multi-dimensional yang memuat berbagai hakekat dan filosofi kehidupan. Wayang yang dimainkan oleh dalang tersebut bukan hanya sekedar sebuah pertunjukan seni yang menyatukan berbagai instrumen. Nilai-nilai moral, etika, dan kesantunanpun tersirat dalam setiap lakon yang dimainkan oleh sang dalang. Kisah para dewa dan ksatria bahkan buta menyimbolkan berbagai sifat manusia, dimana manusia terbagi menjadi dua karakter yaitu antagonis dan protagonis. Lakon-lakon itu mengajak imajinasi kita menerawang pada hukum sebab dan akibat. Dimana setiap apa yang kita tanam tentu kita akan menuainya.
Hadirnya punakawan yang menjadi pralambang sifat humanis memberikan penyegaran setelah huru-hara yang biasa terjadi karena perebutan kekuasaan, dsb. Punakawan dengan sifatnya yang lugu, sederhana, dan bersahabat biasa mengocok perut penonton melalui sesi gara-gara. Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong muncul sebagai dagelan yang menyiratkan bahwa adakalanya hidup memang harus digulung. Tidak melulu meratapi berbagai permasalahan hidup.
Wayang kulit biasa dimainkan dimalam hari dan akan tancep kayon  pada dini hari.
Malam hari dianggap sebagai waktu yang sakral untuk laku prihatin, sehingga dipilih sebagai waktu yang melatarbelakangi pertunjukan kehidupan ini. Pada dini hari biasanya lebih banyak mengajarkan berbagai filosofi kehidupan. Meskipun justru pada waktu ini penonton yang tersisa hanya beberapa gelintir saja, kebanyakan para orang tua. Tancep Kayon mengandung falsafah jawa yaitu Sangkan Paraning Dumadi yang artinya kembali pada Sang Pencipta. Kayon sendiri merupakan gunungan yang digunakan untuk pergantian setting serta mengawali dan mengakhiri pertunjukkan.
Melek semalam suntuk untuk merenungkan hakekat dan tujuan hidup melalui pagelaran wayang, saya rasa adalah salah satu cara untuk laku prihatin. Kompleksitas kehidupan yang disiratkan melalui lakonnya dan pralambang sifat manusia yang tercermin pada tokohnya tentu akan membuat kita lebih bijaksana dalam menjalani kehidupan.
Sayangnya, permasalahan bahasa terkadang membuat filosofi dan ajaran hidup dalam pagelaran wayang kurang tersampaikan dengan maksimal. Malah tak bisa dipungkiri permasalahan klasik ini menumbuhkan kemalasan untuk menonton, khususnya pada generasi muda. Mereka beranggapan bahwa tak ada gunanya menonton pertunjukkan dengan bahasa   “ planet” sebagai bahasa pengantarnya.
Hadirnya wayang climen yang diusung oleh dalang minimalis Ki Jlitheng Suparman sepertinya menjadi solusi yang sangat tepat untuk permasalahan ini. Konsep wayang yang ia beri nama Wayang Kampung Sebelah (WKS) ini menggunakan bahasa jawa yang lebih sederhana dan yang jelas dengan durasi yang pendek pula. 2-3 jam cukup untuk menampilkan wayang jenis ini. Meskipun hanya dengan durasi yang pendek namun wayang climen tidak keluar dari pakemnya. Cerita yang diusung dalam pagelaran wayang climen sama seperti pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Dengan demikian, filosofi kehidupan yang terkandung dalam cerita wayang tidak akan menghablur.

Akhirnya, kenapa tidak “ belajar hidup melalui wayang “ ? Lakon wayang yang mirip dengan lelakon kita tentu saja bisa kita jadikan perenungan tentang hakekat hidup. Sifat para buta dan para ksatria bisa kita jadikan cerminan tindakan kita. Selain itu dengan menonton wayang kita juga telah menjaga eksistensi salah satu warisan budaya dari nenek moyang kita. Sebab, kalau bukan kita siapa lagi? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar