Masyarakat Bantul, Yogyakarta
merupakan masyarakat tradisional yang menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi.
Berbagai bentuk tradisi seperti ritual maupun upacara-upacara adat masih lekat
dalam kehidupan masyarakatnya. Sebab, masyarakat Bantul, Yogyakarta mempercayai
mitos bahwa melanggar tradisi merupakan perbuatan yang ora elok. Sanksi
terhadap pelanggaran nilai-nilai tradisi atau norma adat dapat berupa
pengucilan atau harus melaksanakan syarat tertentu dalam rangka rehabilitasi
diri.
Tradisi yang diyakini oleh masyarakat
Bantul, Yogyakarta tidak dapat terlepas dari kepercayaan rakyat atau takhyul.
Takhyul oleh orang berpendidikan Barat diartikan sebagai sesuatu yang pandir
atau tidak berdasarkan logika sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Faktanya, tradisi-tradisi pada masyarakat Bantul, Yogyakarta mengandung
berbagai macam filosofi yang tidak dapat dinalar oleh logika manusia. “
Keselamatan “ adalah alasan utama yang mendasari segala macam filosofi pada
sebagian besar tradisi atau ritual di Jawa khususnya pada masyarakat Bantul,
Yogyakarta.
Keyakinan tersebut akhirnya bermuara
pada makna suatu tradisi pada masyarakat yang menganut kepercayaan rakyat atau
takhyul. Takhyul tidak hanya melulu kepercayaan namun bisa mencakup kelakuan,
pengalaman dan ada kalanya alat atau ungkapan (Brunvand, 1968)
Berangkat dari kepercayaan rakyat yang
menjadi panutan masyarakat Jawa pada umumnya, suatu tradisi sebenarnya memiliki
makna mendalam bagi masyarakat penganutnya. Sebagai objek kajian dalam makalah
ini adalah masyarakat Bantul, Yogyakarta. Salah satu tradisi yang masih lekat
dalam masyarakat ini adalah padusan.
Secara etimologis padusan berarti adus
yang dalam bahasa Jawa berarti mandi. Sedangkan secara istilah padusan adalah
suatu ritual membersihkan diri sebelum melaksanakan ibadah di Sasi Pasa.
Masyarakat Bantul, Yogyakarta melaksanakan padusan sehari sebelum Sasi Pasa.
Tempat-tempat yang biasa digunakan untuk padusan adalah Sendhang Kasihan,
Tamantirto atau Pantai Parangtritis. Ritual ini dilakukan dengan cara membasuh
seluruh anggota tubuh dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Sasi Pasa memiliki makna tersendiri
bagi masyarakat Bantul, Yogyakarta. Menurut salah seorang masyarakat, Sasi Pasa
adalah bulan penuh berkah dimana Gusti Allah lebih dekat dengan umatnya. Maka,
untuk memaksimalkan ibadah puasa mereka dilaksanakan ritual padusan. Padusan
dilaksanakan dalam rangka mensucikan jiwa dan raga untuk melaksanakan ibadah
puasa sebulan penuh. Sasi Pasa merupakan bulan yang suci bagi umat Islam, maka
padusan merupakan jembatan yang
memisahkan antara bulan biasa dengan bulan puasa. Makna ini kemudian berkembang
menjadi makna keselamatan.
Keistimewaan Sasi Pasa bagi masyarakat
Jawa tak terlepas dari mayoritas penduduknya yang beragama Islam. Berbagai
ritual dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan dan antusiasme dalam menyambut
datangnya bulan Puasa atau Sasi Pasa. Masyarakat Jawa yang menganuat Agama
Islam khususnya beranggapan bahwa untuk memaksimalkan ibadah di bulan suci maka
kita wajib mensucikan diri.
Mensucikan diri berarti membersihkan
diri jiwa dan raga. Masyarakat Jawa khususnya masyarakat Bantul, Yogyakarta
memiliki ritual khusus untuk mensucikan diri sebelum melaksanakan ibadah puasa
yaitu padusan. Ritual ini dilakukan di sebuah sendhang atau sumber mata air
yang dipercaya merupakan sumber mata air keramat dan disucikan oleh warga
sekitar. Tidak ada doa khusus yang diucapkan dalam ritual ini, masyarakat hanya
mengucapkan niat ingsun membersihkan jiwa dan raga dari segala kotoran dan dosa
untuk melaksanakan ibadah.
Padusan sendiri memuat dua unsur
kepercayaan yang dipadukan dalam ritual khusus tersebut. Perpaduan antara
ritual kejawen dengan kepercayaan ibadah puasa dalam Islam membentuk akulturasi
yaitu sinkretisme.
Menurut Prof. Dr. David Fernando
Siagian, sinkretisme adalah perpaduan dari paham-paham, aliran-aliran atau
agama-agama tertentu. Hal ini nampak pada perpaduan antara Islam dan Jawa yang
terdapat dalam ritual padusan.
Sinkretisme yang terdapat dalam
padusan memuat nilai-nilai adat istiadat yang kemudian berkembang menjadi
tradisi. Masyarakat Jawa yang beragama Islam memaknai Padusan sebagai bagian
dari tradisi kejawen yang memuat nilai-nilai religius. Sebab, padusan adalah
ritual yang sekali lagi bermakna mensucikan diri untuk menyambut datangnya
bulan suci Ramadhan.
Pengaruh kejawen yang melekat pada
ritual ini dimaknai sebagai awal laku prihatin wong jawa. Di dalam masyarakat
Bantul, Yogyakarta, puasa adalah salah satu bentuk laku prihatin yang dilakukan
untuk mendapatkan keselamatan dan kehidupan yang layak. Dalam makna religious
puasa berarti beribadah untuk Gusti Allah. Kedua aspek ini dipadukan dalam
ritual yang memadankan Jawa-Islam dalam satu kegiatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar