A.
DINASTI
MATARAM KUNA
Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah
Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri
Jawa Timur. Prasasti yang biasa
disebut dengan nama Prasasti Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804
Masehi dan
berbunyi “ Pada Tahun 726 penanggalan çaka, dalam bulan çaitra pada hari
kesebelas paro terang, pada hari Haryang atau hari kedua dalam minggu
yang berhari enam, wage atau hari
keempat dalam minggu berhari lima, saniscara
atau hari ketujuh dalam minggu yang berhari tujuh. “ (Zoetmulder, 1985:3). Setelah
prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang berisikan sebuah sajak
yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini
adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuna).
Sumber
penulisan sejarah Mataram Kuna yaitu Prasasti Mantyasih di Kedu yang diterbitkan
pada masa Rakai Watukumara Dyah Balitung yang berangka tahun 907. Prasasti
Mantyasih menyebutkan para Raja Mataram Kuna diantaranya :
1.
Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
2.
Sri Maharaja Rakai Panangkaran
3.
Sri Maharaja Rakai Pananggalan
4.
Sri Maharaja Rakai Warak
5.
Sri Maharaja Rakai Garung
6.
Sri Maharaja Rakai Pikatan
7.
Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
8.
Sri Maharaja Rakai Watuhumalang
9.
Sri Maharaja Rakai Watukumara Dyah Balitung
10. Sri
Maharaja Rakai Daksa
11.
Sri Maharaja Rakai Tulodhong
12. Sri
Maharaja Rakai Wawa
13. Sri
Maharaja Empu Sindok
Pada masa
Jawa Kuna, pendidikan humaniora merupakan pendidika yang utama bahkan tidak
hanya menjadi monopoli kelas-kelas terbatas saja. Pendidikan puisi merupakan
pendidikan yang harus diikuti oleh kalangan umum lebih-lebih pegawai istana dan
pemuka masyarakat (Zoetmulder, 1985:179). Kesadaran mengenai makna penting
kedudukan ilmu bahasa, sastra, sejarah, antropologi, kemanusiaan,
kemasyarakatan, keagamaan, dan tata negara telah memberi inspirasi para pejabat
kerajaan untuk mendirikan, mengembangkan, dan membantu proses pendidikan pada
saat itu yang berwujud padepokan.
Pertumbuhan
kesusastraan Jawa sudah dikenal secara luas dan dalam tempo yang lama. Karya sastra
tertua adalah Serat Candakarana yang dibuat pada masa dinasi Syailendra yang berkuasa sekitar tahun 700 çaka dan telah berhasil membangun
monumen megah berupa candi Kalasan. Seran
Candakarana ini berisi tentang pelajaran persajakan dan leksikografi
(Poerbatjaraka, 1957: 1-2).
B. WARISAN SASTRA BUDAYA RAJA MASA
MATARAM KUNA
1.
Samaratungga
Samaratungga adalah
raja Mataram Kuna dari Dinasti syailendra yang menganut agama Budha Mahayana.
Karyanya yang monumental adalah Candi Borobudhur. Istilah Borobudhur berasal
dari kata bara = biara dan budur
= tinggi. Bangunan Candi Borobudhur terdiri dari tiga bagian yaitu
(Damardjati Supadjar,1993) :
1)
Kamadhatu
Alam bawah tempat
bersemayam manusia biasa. Secara simbolis mengandung arti tingkat manusia pada
masa kanak-kanak yang masih tergoda dengan kesenangan duniawi seperti
bermain-main, egois, hedonis, dan rekreatif.
2)
Rupadhatu
Alam tempat bersemayam
manusia yang sudah mengalami kedewasaan. Manusia yang bertanggung jawab,
sungguh-sungguh, seimbang, dan humanistik.
3)
Arupadhatu
Tempat bersemayamnya
manusia yang telah mencapaai kesempurnaan hidup, insan kamil, makrifat, dan waskitha
ngerti sadurunge winarah.
Candi Borobudhur
terletak di Magelang dan dikelilingi Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung
Sumbing, Gunung Sindoro, dan Gunung Menoreh. Di dekat juga ada Candi Pawon,
Candi Mendut, dan Candi Sewu . Ketiga Candi tersebut merupakan warisan Dinasti
Syailendra yang memerintah antara tahun 778-abad ke 10 di Jawa Tengah.
2. Rakai
Pikatan
Rakai pikatan
memerintah Kerajaan Mataran Kuna sekitar tahun 778 çaka atau 856 Masehi. Istrinya
adalah putri dari raja Samaratungga yang bernama Pramodhawardani. Pada zaman
pemerintahan Rakai Pikatan itu dibangun Candi Prambanan atau Candi Roro
Jonggrang. Prasasti yang mengungkapkan tentang Candi Prambanan yaitu Prasasti
Siwagraha yang berangka tahun 778
çaka atau 856 Masehi yang dikeluarkan
oleh Rakai Pikatan (Moertjipto & Bambang Prastyo, 1994:30). Sekarang
prasasti itu disimpan di Museum Pusat Jakarta. Nama Rakai Pikatan juga disebut
dalam prasasti Mantyasih. Begitu terkenalnya, Rakai Pikatan mendapat julukan Jatiningrat.
3. Dyah
Balitung
Dyah Balitung adalah Maharaja dari Kerajaan Mataram Kuna yang bertahta
898-910. Beliau masih keturunan Wangsa Syailendra, sebuah dinasti yang terkenal
karena telah berhasil dalam mengembangkan seni, bahasa, budaya, dan ilmu
pengetahuan (Zoetmulder, 1985). Salah satu karya
sastra dari Dinasti Syailendra ini adalah Kitab Candha Karana, sebuah buku yang ditulis di atas daun rontal, berisi
tentang ajaran moral, seni tembang, tata bahasa, dan kamus. Pada tahun 700 çaka, Wangsa Syailendra membangun Candi
Kalasan. Pada tahun 782-872 dibangunlah sebuah candi megah nan indah, yaitu
candi Prambanan yang reliefnya memuat Kisah Ramayana.
Keraton Mataram ini
mengalami keemasan pada masa pemeritahan Raja Balitung. Pada Tahun 907 Raja
Balitung menyelenggarakan pentas seni besar-besaran, dengan menampilkan
pagelaran wayang. Lakonnya adalah Bima
Kimara dan Ramayana. Pada masa
Raja Balitung ditulis
prasasti Kedu atau Mantyasih berangka tahun 907. Prasasti ini secara lengkap
menggambarkan silsilah Raja Mataram Kuna.
4. Empu
Yogiswara
Empu Yogiswara adalah pengarang kakawin
Ramayana pada tahun 825 çaka atau
903 Masehi. Beliau hidup pada masa pemerintahan Dyah Balitung tahun 820-832 çaka atau 898-910 Masehi.
Kakawin Ramayana merupakan terjemagan karya sastra ciptaan Pujangga
Hidu, Walmiki, pada permulaan masehi. Kitab
Ramayana terdiri dari 7 kandha dan 24.000 seloka. Ketujuh kandha dalam Kakawin Ramayana tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Bala
Kandha
Berisi tentang cerita Prabu Dasarata, raja Negeri Kosala yang beribukota
Ayodya. Dalam lakon Sayembara Widekadirja
atau Sayembara Mantili, Dewi
Sinta, Prabu Janaka disunting oleh Rama.
2.
Ayodhya
Kandha
Berisi kisah Rama, Sinta, dan Lesmana yang disingkirkaan di Hutan
Dandaka (Lakon Rama Tundhung)
3.
Aranya
Kandha
Berisi kisah Sinta yang diculik Rahwana (Lakon Rama Gandrung)
4.
Sundara
Kandha
Berisi tentang cerita kepahlawanan Anoman yang berhasil berjumpa dengan
Dewi Sinta di Alengka (Lakon Anoman Duta)
5.
Kiskendha
Kandha
Berisi kisah tentang bala tentara Rama yang menyebarangi samudera untuk
menuju Alengka (Lakon Rama Tambak)
6.
Yudha
Kandha
Berisi kisah peperangan antara tentara Alengka dengan tentara Rama yang
berakhir dengan kembalinya Rama Sinta ke Ayodya (Lakon Brubuh Alengka)
7.
Uttara
Kandha
Berisi kisah Rama Sinta setelah kembali ke Ayodya. Rakyat Ayodya
menyangsikan kesucian Sinta lagi. Untuk membuktikan kesucian Sinta dilakukan
pembakaran atas diri Sinta (Sinta Obong) (Haryanto,
1998:229-230)