Jumat, 11 Juli 2014

LAKON: KUMBAKARNA GUGUR

     Cerita dimulai ketika Prabu Dasamuka benar-benar marah dan frustasi, karena sepanjang Perang Brubuh Alengka, tak sekalipun dia memperoleh kemenangan.  Hampir separo kekuatan Alengka telah tewas di medan pertempuran.  Tak kurang dari Jambu Mangli, Katakiya, Janggisrana, Wirakampana dan raksasa sakti lainnya telah tewas.  Bahkan Patih Prahasta juga telah tewas ditangan Anila.  Kesedihan Dasamuka memuncak ketika teringat bahwa Sarpakenaka yang kesaktiannya tiada tara juga telah mati.
Kekalahan demi kekalahan yang menimpa Dasamuka ditimpakan pada sosok Gunawan Kurda Wibisana.  Dimata Dasamuka, dialah sumber malapetaka karena telah bergabung dengan Prabu Rama.  Gunawan Wibisana dianggap telah membocorkan rahasia kekuatan Alengka.  Dasamuka berniat untuk berangkat sendiri memimpin pertempuran melawan Prabu Rama.
       Hal ini dihentikan oleh putra-putra Rahwana yang lain yaitu : Trisirah, Trikaya, Trinetra, Trimurda, Dewantaka dan Narantaka. Mereka bertekad untuk meju ke medan laga demi menjaga wibawa Prabu Dasamuka.  Maka jadilah mereka berlima diangkat menjadi Senapati Alengka untuk menumpas Rama dan prajurit keranya.

LEGENDA GUNUNG TUGEL

Membicarakan masalah legenda dari Gunung Tugel, maka tak akan lepas dari sosok Kyai yang berbudi luhur. Kyai Singoprono. Beliau adalah putra dari Brawijaya V dari Kerajaan Majapahit dan masih setingkat dengan Jaka Tingkir. Beliau memiliki seorang istri bernama Nyai Tasik Wulan. Menurut juru kunci setempat Kyai Singoprono awalnya adalah seorang pedagang.  Ia berdagang dengan jujur dan sering menolong para pelanggannya. Maka, banyak orang yang berduyun-duyun membeli dagangannya. Selain dikenal sebagai seorang pedagang, Kyai Singoprono juga merupakan seorang petani yang kerap membagi hasil panennya kepada masyarakat sekitar yang membutuhkan. Kebaikan dan keluhurannya itulah yang terkadang membuat iri dan dengki orang lain.

PRABU RAMAWIJAYA

Ramawijaya yaiku putra Prabu Dasarata lan Dewi Ragu utawa Dewi Kosalya lan ugo titisane Batara Wisnu. Nama lainnya adalah Ramaregha, Ramacandra, Ramabdra.
Ramawijaya atau Ramaregawa adalah putra Prabu Dasarata dan Dewi Ragu atau Dewi Kosalya dan juga merupakan titisan dari Batara Wisnu yang berasal dari Negara Astina namun merupakan ksatria dari Pancawati. Rama merupakan  suami Dewi Shinta yang dinikahinya melalui sayembara di Negeri asal Shinta, Negeri Manthili.
Rama adalah putra Mahkota yang akan diangkat sebagai Raja Astina oleh Ayahnya, Prabu Dasarata. Namun Dewi Kekaeyi menagih janji Prabu Dasarata yang dulu sempat berjanji akan mengangkat putranya yang bernama Barata menjadi raja.
Ramapun mengalah dan tidak menjadi raja, justru dia dibuang di Hutan Dhandaka bersama Lesmana dan Shinta. Tak lama setelah itu, Prabu Dasarata meninggal dan Batara  mencari dan meminta Rama agar pulang ke keraton dan menjadi raja. Rama tak bersedia menjadi Raja, Barata diberitahu agar pulang serta diberi terompah dan nasihat Asthabrata.
Dia memiliki banyak kawan bangsa wanara,sebab ia pernah membantu salah satu Raja Kera membalaskan dendam pada saudaranya yang merebut istrinya. Itulah yang menyebabkan Anoman diutus untuk mengambil Shinta yang diculik Rahwana dalam lakon Anoman Dhuta.

PRABU KRESNA

Sesudah menjadi Raja Narayana bernama Prabu Harimurti dan Padmanaba karena ia adalah titisan Begawan Padmanaba. Bernama juga Prabu Dwarawati, oleh karena ia menjadi Raja Dwarawati. Akhirnya bernama pula Kresna, berhubungan dengan kulitnya yang hitam dan disamping itu masih terdapat nama-nama lainnya.
Ia dapat bertahta di Dwarawati karena berhasil mengalahkan seorang raja raseksa bernama Prabu Kunjana Kresna dari negara Dwarawati dan nama Kresna itu dipakainya juga sendiri dan jadilah ia Prabu Kresna.
Prabu Kressna adalah pengasuh atau disebut juga dalang Pandawa, yakni seorang  yang menjalankan siasat kenegaraan, peperangan, dll. Prabu Kresna memiliki senjata bernama Cakra. Sebuah senjata yang hanya bisa dikuasai oleh titisan Dewa Wisnu. Prabu Kresna juga memiliki jimat kembang Wijayakusuma untuk menghidupkan kembali seseorang yang mati selagi belum takdir baginya untuk mati.
web widgets
web widgets
widgets

SEMOGA BERMANFAAT!


RESI BISMA

Resi Bisma adalah nama Dewabrata setelah menjadi pendeta. Dalam perang Bharatayuda ia memihak Astina, diangkat sebagai panglima dan berhadapan dengan Dewi Srikandhi, putri Cempa-lareja dan pahlawan Pandhawa. Putri inilah yang menjadi lawan Bisma dalam perang Bharatayuda. Maka tewaslah Resi Bisma terkena anak panah putri tersebut, sebagaimana diramalkan oleh Dewi Ambika sebelum ia mati.
Resi Bisma bermata kendondongan, berhidung dan bermulut setnbada, serba lengkap, berkumis dan berjenggot, berkumis dan berjenggot, bersongkok dan berjamang dengan garuda membelakang, berbaju, berselendang, dan bersepatu yang semuanya menandakan, bahwa ia seorang pendheta, tanganya yang bergerak hanya di depan. Tampak pada wajahnya, bahwa pendeta ini pemarah.

Sifat-sifat pemberani dan pemarah wayang dapat ditilik tidak hanya dari wajahnya, melainkan juga dari cat mukanya. Cat muka merah jambu menandakan ia pemarah.

SKENARIO PEMBELAJARAN QUANTUM

Skenario Pembelajaran

 Sekolah           : SMP 
Kelas/Semester   : VII/II

I.      Standar Kompetensi 
MEMBACA
Mampu membaca bacaan sastra, nonsastra dalam berbagai teknik membaca, dan bacaan berhuruf jawa.
II.      Kompetensi Dasar
Membaca pemahaman bacaan sastra (cerita kethoprak) atau bacaan dengan tema tertentu.
III.      Indikator
1.   Mampu menemukan tokoh dan watak dalam cerita rakyat.
2.  Mampu menemukan amanat yang terkandung dalam cerita rakyat.
3.  Mampu menceritakan kembali cerita rakyat sesuai dengan paragraf.

SERAT WULANG SUNU

Karya : PakuBuwono IV

Pupuh I

a.       Wulang sunu kang kinarya gendhing, kang pinurwa tataning ngawula, suwita ing wong tuwane, poma padha mituhu, ing pitutur kang muni tulis, sapa kang tan nuruta saujareng tutur, tan urung kasurang-surang, donya ngakir tan urung manggih billahi, tembe matine nraka.
b.      Mapan sira mangke anglampahi, ing pitutur kang muni ing layang, pasti becik setemahe, bekti mring rama ibu duk purwa sira udani, karya becik lan ala, saking rama ibu, duk siro tasih jajabang, ibu iro kalangkung lara prihatin, rumeksa maring siro.  
c.       Nora eco dahar lawan ghuling, ibu niro rumekso ing siro, dahar sekul uyah bae, tan ketang wejah luntur, nyakot bathok dipunlampahi, saben ri mring bengawan, pilis singgul kalampahan, ibu niri rumekso duk siro alit, mulane den rumongso.
d.      Dhaharira mangke pahit getir, ibu niro rumekso ing sira, nora ketang turu samben, tan ketang komah uyuh gupak tinjo dipun lampahi, lamun sira wawratana, tinatur pinangku, cinowekan ibu nira, dipun dusi esok sore nganti resik, lamun luwe dinulang
e.       Duk sira ngumur sangang waresi, pasti siro yen bisa rumangkang, ibumu momong karsane, tan ketang gombal tepung, rumeksane duk sira alit, yen sira kirang pangan nora ketang nubruk, mengko sira wus diwasa, nora ana pamalesira, ngabekti tuhu sira niaya.  

SULUK SUJINAH

Sifat Perbuatan Lahiriyah Agampang janma sembayang, nora angel wong angaji, pakewuhe wong agesang, angadu sukma lan jisim, salang surup urip, akeh wong bisa celathu, sajatine tan wikan, lir wong dagang madu gendhis, iya iku wong kandheng ahli sarengat.
Terjemahan :
Adalah mudah manusia sembahyang, tidaklah sesulit orang memuji, rintangan hidup adalah mengadu sukma dan tubuh, salah paham kehidupan, banyak orang bisa bicara, nyatanya tidak mengetahui, sperti orang berdagang madu gula, orang yang terhenti sebagai ahli syariat.
Sang Dyah kasmaran ing ngelmi, tan nyipta pinundhut garwa, amaguru ing batine, kalangkung bekti ing priya.
Terjemahan :
Si cantik gemar belajar ilmu, tidak mengira akan diperistri, dalam hati ia berguru dan sangat berbakti kepada suami.
Mung tuwan panutan ulun, pangeran dunya ngakerat.
Terjemahan :
Hanya tuan yang kuanut, pujaan di dunia dan akhirat.
Ping tiga ran bayuara, ya tapaning estri ingkang utami, lire bangkit nyaring tutur, rembuge pawong sanak, tan ………, kang tinekadken ing driya, pituturing guru laki.
Terjemahan :
Ketiga disebut banyuara, yakni tapa istri utama, artinya mampu menyaring kata, tutur kata sanak saudara, tidak mudah mematuhi dan meiru, dalam hati hanya bertekad mematuhi nasehat suami.

KURIKULUM BAHASA JAWA 2013 TINGKAT SMA

KURIKULUM BAHASA JAWA 2013 TINGKAT SMP

KURIKULUM BAHASA JAWA 2013 TINGKAT SD

RESENSI BUKU “ Kritik Esai Kesusastraan Jawa Modern “

Irah-irahan       : Kritik Esai Kesusastraan Jawa Modern
Penganggit     : Poer Adhie Prawoto
Penerbit            : Angkasa
Kutha                  : Bandung
Warsa Terbit   : 1991
Kandel                : 109
Poer Adhie Prawoto rumaos prihatin kaliyan sastra jawi ingkang loyo, sampun mati kedangon, lan burem. Panjenenganipun nyobi nyunting kritik esai kasusastran jawi modern saking para kritikus sastra.
Susilomurti ingkang miwiti ngritik babagan kahanan sastra jawi wonten jaman sakniki. Susilomurti inggih punika kritikus sastra ingkang miyos wonten Surabaya nanging ageng wonten Madiun. Panjenenganipun nate aktip wonten kempalan drama Arena Madiun. Wonten Ngayogyakarta panjenenganipun ugi aktip wonten kempalan Sanggar Bambu sareng kalihan pelukis Sunarto Pr. Nate ugi madegaken Kalawarti Basa Jawi Kumandhang. Pungkasanipun panjeneganipun jumeneng dados redaktur Kalawarti Sarinah. Wafat surya kaping 11 September 1986 nalika saweg rapat Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) wonten Denpasar.

RESENSI NOVEL “SAWISE LANGITE KATON BIRU”

Irah-rahan                            : Sawise Langite Katon Biru
Penganggit                         : Yunani S W
Penerbit                                : Azza Grafika
Papan Terbit                      : Yogyakarta
Kaca                                        : vii+100 kaca
Cetakan                                : ke-1, Februari 2013
ISBN                                         : (13) 978-602-777-711-8
Dimensi                                  : 14.5 x 21 cm
                Nrenyuhake. Mangkono rasaning batin nalika namatake novel anggitane Yunani iki. Alur cerita sing dijlentrehake kanthi runtut lan gaya bahasa sing cerdas nanging ora ndakik kaya-kaya gawe pamaca dadi salah sijining paraga ing carita iku. Yunani kanthi detail nyritakake saben setting sing bisa gawe imajinasine  pamaca lelumban ing papan-papan kuwi. Kaya-kaya papan kuwi pancen nyata. Kebon apel sing ngrembuyung ing mburi omahe Eyang uga dalan-dalan Batu sing nengsemake dadi background sing nambah nyata tulisan-tulisane Yunani.
           

KAKAWIN RAMAYANA

     Prabu Dasaratha saka negara Ayodya kagungan putra papat : Rama, Bharata, Laksmana saha Satrughna. Sawijining dina ana Resi aran Wiswamitra sing njaluk pambiyantu marang Dasarata kanggo mbebasake pratapane saka para raseksa. Rama lan Laksmana banjur budhal.
    Ing pratapan kasebut, Rama lan Laksmana mateni kabeh raseksa banjur nuju menyang negara Mithila amarga ing kana ana sayembara kanggo nglamar salah sijining putri kang sulistya aran Dewi Shinta. Sayembara kasebut yaiku menthang gendhewa sing mbiyen bareng karo laire Dewi Shinta. Nanging ora ana siji-sijia ksatria sing bisa nglaksanakake syarat kasebut kejaba Rama. Mila Rama kasil nggarwa Dewi Shinta lan Shinta kaboyong menyang Ayodya. Ing Ayodya, Rama bakal kajumenengake nata nanging salah sijining ibu tirine yaiku Kekeyi nagih janji menawa Barata sing bakal jumeneng nata. Sanajan kanthi abot ing manah, Prabu Dasarata nyanggupi janji kasebut. Rama lan Shinta dikantheni Laksmana lunga saka Kraton. Ora let suwe, Prabu Dasarata seda. Barata banjur nggoleki Rama lan ngersakake Rama dadi raja amarga dheweke rumangsa ora pantes dadi raja. Nanging Rama nampik lan malah menehake sandhale marang adhine, Barata kaya dene kekuwasanae.
   

KAKAWIN ARJUNAWIWAHA

     Ana sawijining raseksa aran Niwatakawaca sing arep nyerang kahyangan, donyane para dewa. Raseksa kasebut sekti mandraguna tan ana sing bisa ngalahake. Dewa banjur njaluk pitulungan marang manungsa. Panjenengane banjur nemtokakee pilihan marang Arjuna sing lagi tapa ing Gunung Indrakila.
Ananging sadurunge Arjuna kautus kanggo ngalahake raseksa Niwatakawaca, dheweke kudu diwenehi pacoban kanggo nyoba katabahane lan kasektene. Banjur widadari cacah pitu kautus dening Dewa kanggo nggodha Arjuna ing antarane yaiku Tilottamā lan Suprabhā.
     Kekaro widodari sing ayune wis kawentar ing jagade para Dewa kasebut nggodha Arjuna kanthi pirang-pirang cara nanging mung muspra, amarga Arjuna babar pisan ora kegut marang rayuane kekaro widodari kasebut. Kanthi rasa kuciwa Tilottamā lan Suprabhā bali menyang Kahyangan lan matur dhumateng Dewa Indra. Para Dewa bungah nampa kanyatan kasebut, nanging isih ana siji sing tansah gawe Dewa mangu-mangu, apa tujuaning Arjuna tapa brata namung kanggo golèk kabahagiyan lan kakuwasaan tumrap Arjuna, saénggo Arjuna ora perduli tumrap kaselamataning wong liya? Kanggo nguji bab kasebut, Dewa Indra nemoni Arjuna kanthi njelma dadi wong tuwa. Panjenengané ditampa kanthi nyenengake.

NOVEL : Serat Rijanta

Karya R B Soelardi

Pada jaman dahulu di Surakarta, ada seorang yang agung bernama Pangeran Natasewaya. Beliau memiliki seorang putra bernama Raden Mas Riyanta. Semenjak umur enam tahun, Raden Mas Riyanta sudah ditinggal wafat oleh sang Ayah. Lalu ia hanya dirawat oleh Ibunya. Tentu saja Raden Mas Riyanta sangat disayang oleh Ibunya. Ia begitu dimanja dan dituruti apa keinganannya.
Saat menginjak remaja, Raden Mas Riyanta suka mengembara pada malam hari. Menjamah tempat-tempat sepi atau malah kadang berendam disungai. Tak peduli dengan hawa dingin yang menusuk tulang.  Hal itu membuat Ibunya khawatir. Takut kalau putranya berbuat tidak baik. Lalu sang Ibu berinisiatif untuk menikahkan Raden Mas Riyanta. Namun sepertinya Raden Mas Riyanta kurang setuju dengan inisiatif Ibunya. Dan ketidaksetujuan Raden Mas Riyanta itu membuat ibunya kesal. Saking kesalnya Raden Ayu Natasewaya sampai mendiamkan putranya.
Tiga hari sudah Raden Mas Riyanta tidak sowan kepada sang Ibu ke dalem Natasewayan, maka diutusnya Raden Ayu Marsam yang tak lain adalah adik sepupu Raden Mas Riyanta ke Pasanggrahan , untuk menanyakan apa yang terjadi dengan Raden Mas Riyanta sehingga tiga hari tak sowan kepada Raden Ayu. Namun saat ditanya, Raden Mas Riyanta tak mengatakan apapun. Ia hanya berkata bahwa ia akan sowan kepada Ibunya nanti. Saat Raden Ajeng Marsam menanyakan  tentang kesediannya untuk menikah, Raden Mas Riyanta menjawab bahwa ia belum menemukan wanita yang luhur budinya dan disukainya di tanah ini.

CERKAK : BOCAH NGGUNUNG

Ranti, jenenge Suranti. Kenya Wonosobo kang praupane nengsemake kae kaya susah atine. Luh-luh padha dleweran ing pipine sing isih alus. Saben-saben tangane ngusap pipine nanging banyu kang mili saka mripate ora gelem mandheg. Nembe isuk mau dheweke nangis bungah amarga tulisan lulus sing katujukake mring dheweke. Nanging saiki dheweke kudu nangis getun, dene wong tuwane tegel tenan muthung impen-impene.
Wis dadi deretan impen sing dadi kembang turune saben wayah wengi. Sok yen wis lulus SMA Ranti kepingin nerusake menyang perguruan tinggi. Ing jurusan sastra. Dheweke pingin dadi penulis. Kaya Andrea Hirata, penulis favorite. Nanging, apa ya bakal kelakon gegayuhan iku yen dheweke wis dilamar pria sugih pilihan wong tuwane. Pria sing jare bakal ndadekake uripe kepenak, nanging ora bakal ndadekake dheweke penulis.
Adheme hawa ing Dieng sansaya ngremuk balunge Ranti. Pating nggreges kulite. Dheweke tumungkul, kaya-kaya ora sudi nyawang praupane pria sing digadhang-gadhang bakal dadi sisihane. Pikirane terus diuripke, piye piye. Piye anggonne kudu metu saka kahanan kang tansah njepit anggane. Apa ya kenya nggunung iku kudu  pasrah nampa kahanan iki. Apa iya dheweke kudu mendhem jero gegayuhane.
“ Ti, mbok ngomong, aja meneng bae! “ ngendikane Bu Endar. Ranti tetep ora nyuwala. Dheweke nggeget lambe, nahan tangise. Pingin banget dheweke matur yen dheweke ora arep omah-omah sakdurunge bisa dadi penulis. Nanging tetembungan apa bae kaya mung mandheg ing gulune.

CERKAK : SEKAR BUMI RINONCE

Jenenge Sekar. Kenya manis sing lagi lungguh dhewekan ana ing halte kae sajak bingung. Bis sing ditunggu ora teka-teka. Dene jam ing tangan kiwane saya nambah detik lan menite. Bola-bali tangane sing nggawa tisu ngelap kringete sing dleweran, ngelongi alus muluse raine. Wong-wong wis padha lunga siji  mbaka siji. Gari dheweke sing isih mbejejer ing pinggir bangku halte.
            “ Adhuh, kok wit mau sesek kabeh ya Bise! Telat iki aku. “ Sekar nggrundhel. Ora sadhar yen tindak-tanduke diematake karo wong sing lagi ethok-ethok ngenteni bis.
            Ssssreeet ...
            “ E..e..e..e! Jambreeeet! Jambreeet! “ Sekar mbengok-mbengok nalika wong lanang sing ngadeg ing sandhinge mau dumadakan ngrebut tase.
            “ Jambreeet! “ Sekar terus-terusan mbengok nganti wong-wong padha nglumpuk, mbunderi dheweke sing lagi sesenggukan amarga kelangan tase.
            “ Pundi mbak Jambrete? “
            “ Mrikko mmas! “ swarana ora cetha amarga nyampur karo tangise. Wong-wong gage padha ngoyak jambret sing mlayu mangalor. Sekar mlayu uga nututi wong-wong sing arep padha nulungi dheweke.
            BAK BUK BAK BUK!!
            Jambret kecekel lan dikroyok karo wong-wong. Si jambret kuwi nutupi sirahe nganggo tangane keloron.
           

GEGURITAN : Nembang Asmarandana

Sumiliring dahana anyaput rendheng
Angranti sasi sepuluh ing byaring lintang
Nembang asmarandana ing lungiding tawang
Utawa njoget ramayana ing jagade bale rinengga

Angga sing jejeg ing madyaning prang batin
Tekamu ambabar dawaning lelumban
Nyeka tumetesing waspa sumuntaking dhuhkita
Hangenthengi hamadhangi rempeking lara

Liwat tembang asmarandana
Reroncen kasetyan kelet kadya dewa-dewi Astina
Ora kandheg ing gingsiring mangsa
Ora nglokro ing madyaning prahara


Semarang, 31 Mei 2013

GEGURITAN : Layang Bekti

Layang iki daktulis
Minangka seshanti lan seshandi
Minangka sasmitaning dhiri
Bektining ingsun mring sira

Layang iki daktulis
Ngenut saderet-deret aksara
Jinejer ing dlamakan dluwang
Nyawiji dadi tembung-tembung apura

Layang iki sansaya nggrantes
Nyekseni lelakon kebak ngenes
Kairing sabar sing tan winates
Uga luh-luh sing tan leren tumetes

Lumantar layang iki
Dakjaluk tumetesing asihmu
Kanggo putramu sing kebak tatu
Wibi!


Semarang, 09 Juni 2013

GEGURITAN : Abang Putih ing Plataran Pegangsaan

Dwiwarna mblarak sempal
Ing antarane ewon kawula sing nembe alok menang
Kairing lelagon perjuwangan lan sumiliring Indonesia Raya
Ngadeg gagah ing pucuking mega

Abang putih ing plataran pengangsaan
Nyekseni sewu dian sing kobong geni perjuwangan
Ngobahake sikil-sikil jumangkah mangarep
Ngranggeh pepedhang sing wingi kasirep

Abang putih sing gumantung ing gendera
Sasmita tekading para mudha
Putih kaya kukuhing balung sing tan bisa sempal
 Abang kaya sumuntaking ludira sing wis dadi tumbal

Soekarno-Hatta dikepung para mudha siyap mardika
Siyaga mbrakot bengising walanda
Nrajang madyaning paprangan
Nyruduk para tandhingan

Semarang, 02 Juni 2013

GEGURITAN : Sambating Bocah Yatim

Selawase iki aku mung keloloden sega garing
Nerak drim-drim sing wis entek lengane
Uthak-uthik mbokmenawa ana wong ora duwe syukur
Guwangan sega saklawuhe

Sadawane uripku aku mung kekadangan karo kringet iki
Kala-kala dadi sangu ngombe dhek nalika lelumban
Sanajan asin sanajan pait sanajan ora legi
Mung kanggo sumpeling weteng urip ing dalan

Gusti,
Sajadah iki dakgelar
Ngripta pepinginanku meruhi pepadhang
Nagih janjine para umatMu
Sing jarene bakale entuk swarga yen nuruti atiku

Gusti,
Ning endi kudu dakluru
Bekas-bekas kamanungsanMu
Sing Mboktitipke ing antarane para syuhada
Ing antarane para kawulaMu

Gusti,
Aku titip layang sedhih
Kanggo hamba-hambaMu
Sing kebak welas asih

Sing ngarep-arep asihMu

GEGURITAN : ARUMING KEMBANG KAMBOJA

Bocah cilik nuthuki gender ing pinggiring segara
Bocah cilik nyeluk ngelu marang sing mbaureksa negara
Bocah-bocah tanpa suwala
Kungkum ing adheme banyu kamboja

Kamboja sing aruming angambar njiret rinujit
Sing wis ngrembuyung ing jagade prajurit alit
Sing tan owah saka gingsire jaman
Lan tan linalali

Iki mung jagade awake dhewe sing sansaya cilik
Sing wis mbokgondheli nganti sengklek
Iki mung donyane awake dhewe sing nyuda jiwa
Nanging saya ngrembaka ing jagad budaya

Bocah-bocah cilik tukang nuturi
Lagi mloya-mlayu nututi padhanging pertiwi
Bocah-bocah bodho sing jarene keri

Lagi nrithik matun pari

KAWICAKSANAN SANG PEMIMPIN : AJARAN SRI RAMA

“Ketahuilah adinda, bahwa Raja yang memimpin negara adalah pemimpin masyarakat dan sekaligus rakyatnya. Raja berkewajiban pula menjaga seluruh dunia. “
                Sesanti tersebut merupakan pedoman kepemimpinan ala Rama Wijaya. Seorang tokoh Jawa ulung dalam sebuah epos ternama Ramayana yang disadur oleh Yasadipura I. Sri Rama memaknai pemimpin negara sebagai penggerak masyarakat dan rakyatnya. Konsep kepimpinan Raja Ayodyanegara tersebut adalah kebijaksanaan. Dalam melaksanakan kebijaksanaan itu, seorang pemimpin harus berpedoman pada beberapa hal. Seorang pemimpin bagi Sri Rama hendaknya berpegang teguh pada kitab suci. Ajaran kitab suci merupakan ajaran kebaikan yang akan mengantarkan seorang pemimpin pada kawicaksanan. Salah satu Pemimpin Indonesia pada masanya misalnya, yang berpedoman pada ajaran Kitab Sucinya. Hal tersebut mendorongnya untuk senantiasa mengarahkan Bangsanya pada masa-masa yang dirahmati.
                Hal kedua yang menjadi pertimbangan Sri Rama dalam ajarannya adalah pemeliharaan aset-aset negara seperti rumah-rumah Ibadah, jembatan, jalan. Lalu hal yang terpenting adalah pelestarian alam. Seorang pemimpin hendaknya bisa menjadi penggerak konservasi alam. Menjaga dan melestarikan potensi Sumber Daya Alam bersama rakyat. Penyimpangan pada ajaran tersebut pernah terjadi dalam kehidupan Bangsa Indonesia, seorang pemimpin yang menggadaikan potensi alam negaranya demi pundi-pundi devista. Kepimpinan semacam itu yang menjadi keprihatinan Bangsa yang besar ini.

BELAJAR HIDUP DARI WAYANG

Pagelaran wayang adalah sebuah suguhan multi-dimensional yang memuat berbagai hakekat dan filosofi kehidupan. Wayang yang dimainkan oleh dalang tersebut bukan hanya sekedar sebuah pertunjukan seni yang menyatukan berbagai instrumen. Nilai-nilai moral, etika, dan kesantunanpun tersirat dalam setiap lakon yang dimainkan oleh sang dalang. Kisah para dewa dan ksatria bahkan buta menyimbolkan berbagai sifat manusia, dimana manusia terbagi menjadi dua karakter yaitu antagonis dan protagonis. Lakon-lakon itu mengajak imajinasi kita menerawang pada hukum sebab dan akibat. Dimana setiap apa yang kita tanam tentu kita akan menuainya.
Hadirnya punakawan yang menjadi pralambang sifat humanis memberikan penyegaran setelah huru-hara yang biasa terjadi karena perebutan kekuasaan, dsb. Punakawan dengan sifatnya yang lugu, sederhana, dan bersahabat biasa mengocok perut penonton melalui sesi gara-gara. Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong muncul sebagai dagelan yang menyiratkan bahwa adakalanya hidup memang harus digulung. Tidak melulu meratapi berbagai permasalahan hidup.
Wayang kulit biasa dimainkan dimalam hari dan akan tancep kayon  pada dini hari.

GUNUNGAN

             Gunungan inggih menika gambar wayang ingkang kados gunung. Wonten ngandhapipun ketingal gambar gerbang ingkang dipunjagi kaliyan kalih raseksa ingkang ngasta pedhang lan perisai. Menika ngumpamakaken gerbang kraton lan nalika wayang labuh menika dipunginakaken minangka kraton. Wonten nginggilipun wonten satunggaling wit kayu ingkang dipunlilit dening ula ageng.  Wonten malih ing ngriku kathah gambar kewan wana, sedaya menika nggambaraken kahanan wonten ing lebet wana.
              Miturut sejarahipun, gunungan nglambangaken donya lan isinipun. Saderengipun wayang dipunlampahaken dening dalang, gunungan dipuntancepaken wonten satengahing kelir radi manengen, ingkang tegesipun inggih menika lampahan wayang dereng dipunwiwiti. Sasampunipun lampahan wayang dipunwiwiti, gunungan dipuncabut lan dipunpapanaken wonten ing sisih tengen.
          Gunungan ugi dipuginakaken minangka pratandha gantinipun cariyos. Kajawi menika ugi dipunginakaken kangge ngumpamakaken geni lan angin nalika gunungan dipunwolak-walik. Suwalikipun gunungan nggadhahi werni abrit, menika ingkang dipunumpamakaken geni lan werni menika namung saged dipupirsani saking ngajeng kelir.
            

SASTRA BUDAYA KERATON SURAKARTA – MANGKUNEGARAN

Kraton Surakarta telah melahirkan para raja yang aktif sekali dalam mengembangkan sastra dan budaya. Bahkan Raja sendiri terjun dalam dunia karang mengarang, sehingga para raja ini mendapat julukan satria pinandhita.
Pada masa Kerajaan Surakarta awal gencar sekali para pujangga dan raja melakukan penerjemahan karya asing, penyaduran sastra lama dan menciptakan karya sastra baru. Contohnya Serat Wiwaha Jarwa karya saduran Sinuwun Paku Buwana III dengan sengkalan tasik sona giri juga. Serat Wiwahajarwa digubah dari Kakawin Arjunawiwaha karya Empu Kanwa.
Pada masa pemerintahan Sinuwun Paku Buwana IV, beliau menciptakan Serat Wulangreh  yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Jawa, serat lain karya Paku Buwana IV yaitu Wulang sunu.
Pujangga besar lain yang seangkatan dengan Sinuwun Paku Buwana IV yaitu Kyai Yasadipura I, Yasadipura II, Pangeran Kusumadilaga, dan Kyai Sindhusastra.
Kyai Yasadipura I dan Yasadipura II menciptkan karya sastra baik bersifat terjemahan, saduran, atau ciptaan baru. Misalnya Arjunawiwaha Jarwam Serat Rama Jarwa, Serat Bratayida, Serat Paniti Sastra, Serat Arjuna Sasra atau Lokapala, Serat Darmasuya, Serat Dewaruci Jarwa, Serat Menak, Serat Ambia, Serat Tajussalatin, Serat Cebolek, Serat Babad Giyanti, Serat Sana Sunu dan Serat Wicara Keras.

SASTRA BUDAYA MASA DEMAK-MATARAM

    A.   KERAJAAN ISLAM DEMAK
Para Raja yang memerintah di Kerajaan Demak antara lain :
1.     Raden Patah             (1478-1513)
2.    Pati Unus                  (1513-1521)
3.    Sultan Trenggana       (1521-1546)
4.    Sultan Prawata          (1546-1561)
Kitab-kitab yang terbit karena pengaruh agama Islam diantaranya : Het Boek van Bonang, Een Javaans Geshrift uit de 16 Eeuw, Suluk Sukarsa, Koja-kojahan, Suluk Wujil, Suluk Malang Sumirang, Nitisruti, Nitipraja, Sewaka, Menak, Rengganis, Manik Maya, Ambiya dan Kandha.
Koflik syariat pada zaman Demak sudah ada, sebagaimana diceritakan dalam suluk malang sumirang. Isinya tentang pertentangan antara ahli syariat dengan ahli ma’rifat. Kitab ini adalah karya dari Sunan Panggung, Sunan Panggung kemudian dihukum oleh kerajaan Demak dengan dibakar hidup-hidup karena dianggap telah melanggar sarak dan menyebarkan ajaran yang sesat. Saat itu Sunan Panggung memang memimpi barisan oposisi yang selalu mengkritik kebijaksanaan Sultan Demak yang selalu didukung para wali. Kerajaan Demak berdiri kokoh karena sokongan para cendekiawan yang tergabung dalam dewan wali sanga. Kitab-kitab yang terbit pada zaman ini yaitu : 1) Suluk Sunan Bonang 2) Suluk Sukarsa 3) Suluk Malang Sumirang 4) Koja-Kojahan 5) Niti Sruni.

SASTRA BUDAYA PADA MASA KERAJAAN JAWA TIMUR


A.        Kerajaan Medang
Pendiri Kerajaan Medang adalah Empu Sindok, keturunan Raja Jawa Tengah terakhir dinasti Syailendra. Disini Empu Sindok meneruskan cita-cita perjuangan leuhurnya termasuk dalam bidang kesusastraan, kesenian, dan kebudayaan. Pada masa pemerintahan Empu Sindok antara tahun 801-809 çaka atau 929-947 Masehi, dikaranglaah sebuah kitab Budha Mahayana yang bernama Sang Hyang Kamahayanikam. Sezaman dengan kitab ini adalah Kitab Brahmandapurana, sebuah kitab agama Siwa (Poerbatjaraka, 1957: 5-6). J. Kats (1910) mengatakan bahwa Serat Sang Hyang Kamahayanikam ini banyak berbahasa Sansekerta yang dideskripsikan dalam bentuk bahasa Jawa Kuna. Cerita tentang dewa-dewanya mirip dengan relief candi Candi Borobudhur. Serat Brahmandapurana berisi tentang kosmologi, kosmogini, sejarah para resi dan cerita pertikaian antar kasta (Gonda, 1933:329)

SASTRA BUDAYA MASA KERAJAAN MATARAM KUNA


A. DINASTI MATARAM KUNA
Sejarah Sastra Jawa dimulai dengan sebuah prasasti yang ditemukan di daerah Sukabumi (Sukobumi), Pare, Kediri Jawa Timur. Prasasti yang biasa disebut dengan nama Prasasti Sukabumi ini bertarikh 25 Maret tahun 804 Masehi dan berbunyi “ Pada Tahun 726 penanggalan çaka, dalam bulan çaitra pada hari kesebelas paro terang, pada hari Haryang atau hari kedua dalam minggu yang berhari enam, wage atau hari keempat dalam minggu berhari lima, saniscara atau hari ketujuh dalam minggu yang berhari tujuh. “ (Zoetmulder, 1985:3). Setelah prasasti Sukabumi, ditemukan prasasti lainnya dari tahun 856 M yang berisikan sebuah sajak yang disebut kakawin. Kakawin yang tidak lengkap ini adalah sajak tertua dalam bahasa Jawa (Kuna).
Sumber penulisan sejarah Mataram Kuna yaitu Prasasti Mantyasih di Kedu yang diterbitkan pada masa Rakai Watukumara Dyah Balitung yang berangka tahun 907. Prasasti Mantyasih menyebutkan para Raja Mataram Kuna diantaranya :
1.          Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya
2.         Sri Maharaja Rakai Panangkaran
3.         Sri Maharaja Rakai Pananggalan
4.         Sri Maharaja Rakai Warak
5.         Sri Maharaja Rakai Garung
6.         Sri Maharaja Rakai Pikatan
7.         Sri Maharaja Rakai Kayuwangi
8.         Sri Maharaja Rakai Watuhumalang
9.         Sri Maharaja Rakai Watukumara Dyah Balitung
10.       Sri Maharaja Rakai Daksa
11.        Sri Maharaja Rakai Tulodhong
12.       Sri Maharaja Rakai Wawa
13.       Sri Maharaja Empu Sindok
Pada masa Jawa Kuna, pendidikan humaniora merupakan pendidika yang utama bahkan tidak hanya menjadi monopoli kelas-kelas terbatas saja. Pendidikan puisi merupakan pendidikan yang harus diikuti oleh kalangan umum lebih-lebih pegawai istana dan pemuka masyarakat (Zoetmulder, 1985:179). Kesadaran mengenai makna penting kedudukan ilmu bahasa, sastra, sejarah, antropologi, kemanusiaan, kemasyarakatan, keagamaan, dan tata negara telah memberi inspirasi para pejabat kerajaan untuk mendirikan, mengembangkan, dan membantu proses pendidikan pada saat itu yang berwujud padepokan.
Pertumbuhan kesusastraan Jawa sudah dikenal secara luas dan dalam tempo yang lama. Karya sastra tertua adalah Serat Candakarana yang dibuat pada masa dinasi Syailendra yang berkuasa sekitar tahun 700 çaka dan telah berhasil membangun monumen megah berupa candi Kalasan. Seran Candakarana ini berisi tentang pelajaran persajakan dan leksikografi (Poerbatjaraka, 1957: 1-2).
B.      WARISAN SASTRA BUDAYA RAJA MASA MATARAM KUNA
1.   Samaratungga
Samaratungga adalah raja Mataram Kuna dari Dinasti syailendra yang menganut agama Budha Mahayana. Karyanya yang monumental adalah Candi Borobudhur. Istilah Borobudhur berasal dari kata bara = biara dan budur = tinggi. Bangunan Candi Borobudhur terdiri dari tiga bagian yaitu (Damardjati Supadjar,1993) :
1)         Kamadhatu
Alam bawah tempat bersemayam manusia biasa. Secara simbolis mengandung arti tingkat manusia pada masa kanak-kanak yang masih tergoda dengan kesenangan duniawi seperti bermain-main, egois, hedonis, dan rekreatif.
2)        Rupadhatu
Alam tempat bersemayam manusia yang sudah mengalami kedewasaan. Manusia yang bertanggung jawab, sungguh-sungguh, seimbang, dan humanistik.
3)        Arupadhatu
Tempat bersemayamnya manusia yang telah mencapaai kesempurnaan hidup, insan kamil, makrifat, dan waskitha ngerti sadurunge winarah.
Candi Borobudhur terletak di Magelang dan dikelilingi Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Sumbing, Gunung Sindoro, dan Gunung Menoreh. Di dekat juga ada Candi Pawon, Candi Mendut, dan Candi Sewu . Ketiga Candi tersebut merupakan warisan Dinasti Syailendra yang memerintah antara tahun 778-abad ke 10 di Jawa Tengah.
2.  Rakai Pikatan
Rakai pikatan memerintah Kerajaan Mataran Kuna sekitar tahun 778 çaka atau 856 Masehi. Istrinya adalah putri dari raja Samaratungga yang bernama Pramodhawardani. Pada zaman pemerintahan Rakai Pikatan itu dibangun Candi Prambanan atau Candi Roro Jonggrang. Prasasti yang mengungkapkan tentang Candi Prambanan yaitu Prasasti Siwagraha yang berangka tahun 778 çaka atau 856 Masehi yang dikeluarkan oleh Rakai Pikatan (Moertjipto & Bambang Prastyo, 1994:30). Sekarang prasasti itu disimpan di Museum Pusat Jakarta. Nama Rakai Pikatan juga disebut dalam prasasti Mantyasih. Begitu terkenalnya, Rakai Pikatan mendapat julukan Jatiningrat.
3.  Dyah Balitung
Dyah Balitung adalah Maharaja dari Kerajaan Mataram Kuna yang bertahta 898-910. Beliau masih keturunan Wangsa Syailendra, sebuah dinasti yang terkenal karena telah berhasil dalam mengembangkan seni, bahasa, budaya, dan ilmu pengetahuan (Zoetmulder, 1985). Salah satu karya sastra dari Dinasti Syailendra ini adalah Kitab Candha Karana, sebuah buku yang ditulis di atas daun rontal, berisi tentang ajaran moral, seni tembang, tata bahasa, dan kamus. Pada tahun 700 çaka, Wangsa Syailendra membangun Candi Kalasan. Pada tahun 782-872 dibangunlah sebuah candi megah nan indah, yaitu candi Prambanan yang reliefnya memuat Kisah Ramayana.
Keraton Mataram ini mengalami keemasan pada masa pemeritahan Raja Balitung. Pada Tahun 907 Raja Balitung menyelenggarakan pentas seni besar-besaran, dengan menampilkan pagelaran wayang. Lakonnya adalah Bima Kimara dan Ramayana. Pada masa Raja Balitung ditulis prasasti Kedu atau Mantyasih berangka tahun 907. Prasasti ini secara lengkap menggambarkan silsilah Raja Mataram Kuna.
4.  Empu Yogiswara
Empu Yogiswara adalah pengarang kakawin Ramayana pada tahun 825 çaka atau 903 Masehi. Beliau hidup pada masa pemerintahan Dyah Balitung tahun 820-832 çaka atau 898-910 Masehi.
Kakawin Ramayana merupakan terjemagan karya sastra ciptaan Pujangga Hidu, Walmiki, pada permulaan masehi. Kitab Ramayana terdiri dari 7 kandha  dan 24.000 seloka. Ketujuh kandha dalam Kakawin Ramayana tersebut adalah sebagai berikut :
                  1.           Bala Kandha
Berisi tentang cerita Prabu Dasarata, raja Negeri Kosala yang beribukota Ayodya. Dalam lakon Sayembara Widekadirja atau Sayembara Mantili, Dewi Sinta, Prabu Janaka disunting oleh Rama.
                 2.           Ayodhya Kandha
Berisi kisah Rama, Sinta, dan Lesmana yang disingkirkaan di Hutan Dandaka (Lakon Rama Tundhung)
                 3.           Aranya Kandha
Berisi kisah Sinta yang diculik Rahwana (Lakon Rama Gandrung)
                 4.           Sundara Kandha
Berisi tentang cerita kepahlawanan Anoman yang berhasil berjumpa dengan Dewi Sinta di Alengka (Lakon Anoman Duta)
                 5.           Kiskendha Kandha
Berisi kisah tentang bala tentara Rama yang menyebarangi samudera untuk menuju Alengka (Lakon Rama Tambak)
                 6.           Yudha Kandha
Berisi kisah peperangan antara tentara Alengka dengan tentara Rama yang berakhir dengan kembalinya Rama Sinta ke Ayodya (Lakon Brubuh Alengka)
                 7.           Uttara Kandha
Berisi kisah Rama Sinta setelah kembali ke Ayodya. Rakyat Ayodya menyangsikan kesucian Sinta lagi. Untuk membuktikan kesucian Sinta dilakukan pembakaran atas diri Sinta (Sinta Obong) (Haryanto, 1998:229-230)